Selamat datang di blog Puisi-Puisi Indonesia. Anda bisa ikut berpartisipasi dengan mengirimkan karya puisi, cerpen, artikel dan essai sastra beserta biodata dan foto diri Anda melalui email kami di izza.alqassam@gmail.com atau addin.shaumi@gmail.com. Mari kita dokumentasikan karya puisi kita untuk kita kita apresiasi guna memajukan sastra dan budaya Indonesia. Terima kasih.

Rabu, 07 September 2011

PANORAMA

Karya : Dianing Widya Yudhistira

Kulautkan tawa air mata
Mengenang rindu di antara kehampaan
Mengalir melewati parit-parit kealpaan
Memintalku dalam keindahan dosa

Kegaduhan percakapan burung luruh
Demikian nyanyian serigala tanggalkan kenangan
Rangkaian malam sisakan wajah bulan separuh
Sungguh aku merindu perjumpaan

Batang, 1996

Keterangan : diambil dari Antologi Puisi "Kepodang 4" terbitan Taman Budaya Surakarta (1996)

Biodata Penyair :
Dianing Widya Yudistira
DIANING WIDYA YUDHISTIRA, lahir di Batang 6 April 1974. Menulis puisi, cerpen dan resensi buku, mulai tahun 1992. Dipublikasikan ke berbagai media antara lain Republika, Media Indonesia, Koran Tempo, The Jakarta Post, Nova, Horison (Jakarta), Wawasan, Cempaka, Suara Merdeka (Semarang), Memorandum, Jawa Pos (Surabaya), Pikiran Rakyat (Bandung), Waspada (Medan), Serambi Indonesia (Banda Aceh), Suara Nusa (Nusa Tenggara Barat), Bali Pos (Denpasar), Majalah GEN dan Tunas Cipta (Malaysia) dan Bahana (Brunei Darussalam)
Puisi-puisinya bisa ditemukan dalam sejumlah buku kumpulan bersama, antara lain, antologi puisi “Mimbar Penyair Abad 21” (1996), “Forum Pesta Penyair Jawa Tengah 1993” (1993), “Dari Negeri Poci II” (1994), “Dari Negeri Poci III”, “Antologi Puisi Indonesia” (1998), “Kicau Kepodang IV” (1997), “Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka” (1995), “Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia” (ed Korrie Layun Rampan, 2001) , “Surat Putih 2” (2002), “Kiara I” (2000), “Kiara II” (2003), “Aceh dalam Puisi” (2003), ”Bisikan Kata, Teriakan Kota” (2003), “Mahaduka Aceh” (2005), dan lain-lain.
Cerpennya bisa ditemukan dalam sejumlah antologi cerpen, seperti kumpulan cerpen “Kembang Manyang” (2000), “Dunia Perempuan” (ed. Korrie Layun Rampan, 2002), “Yang Dibalut Lumut” (CWI, 2003), “Kota yang Bernama dan Tak Bernama” (2003), “Bunga-Bunga Cinta” (Senayan Abadi, 2004), “Jika Cinta….” (Senayan Abadi, 2004).
Novelnya “Sintren”, dimuat bersambung harian Republika (akhir September 2004-awal Februari 2005), kemudian diterbitkan oleh Grasindo pada 2007. Novel itu masuk lima besar Khatulistiwa Literary Award 2007.
Novelnya yang lain “Perempuan Mencari Tuhan” juga dimuat bersambung di Republika, kini telah terbit menjadi buku (“Perempuan Mencari Tuhan”, Penerbit Republika 2007). Kumpulan cerpen tunggalnya “Kematian yang Indah” (Grasindo, 2005). Novel terbarunya “Nawang” (Pustaka Republika, 2009) dan “Weton” (Grasindo, Oktober 2009). Kini ia sedang menunggu terbit kumpulan esainya tentang perempuan berjudul “Satu Istri Saja Cukup”.
Tahun 1996 diundang dan mengikuti “Mimbar Penyair Abad 21” di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Desember 2003 diundang Dewan Kesenian Jakarta untuk baca puisi dalam forum “Temu Sastra Jakarta”. Kini tinggal di Perumahan Vila Pamulang, Blok Dj-7/8, Pondok Petir, Sawangan, Depok 16517, Email: dianing@gmail.com dan dianingwidya@yahoo.com. Facebook: http://www.facebook.com/dianingwy

SALAM UNTUKMU

Karya : Dianing Widya Yudhistira

Dengan sebukit malu
Kuuntai sajak ini
Tanpa tahu – berarti atau tak
Karena rindu hanya mampu bicara

Pengembaraanku padamu
Tak pernah bertepi
Dengan segala keterbatasan
Hakekatmu senantiasa menyelimuti dalam sepi
Pantaskah aku
Merajuk padamu
Bila nista dosa
Bikin engkau luruh

Batang, 1996

Keterangan : diambil dari Antologi Puisi "Kepodang 4" terbitan Taman Budaya Surakarta (1996) 


Biodata Penyair:
Dianing Widya Yudistira
DIANING WIDYA YUDHISTIRA, lahir di Batang 6 April 1974. Menulis puisi, cerpen dan resensi buku, mulai tahun 1992. Dipublikasikan ke berbagai media antara lain Republika, Media Indonesia, Koran Tempo, The Jakarta Post, Nova, Horison (Jakarta), Wawasan, Cempaka, Suara Merdeka (Semarang), Memorandum, Jawa Pos (Surabaya), Pikiran Rakyat (Bandung), Waspada (Medan), Serambi Indonesia (Banda Aceh), Suara Nusa (Nusa Tenggara Barat), Bali Pos (Denpasar), Majalah GEN dan Tunas Cipta (Malaysia) dan Bahana (Brunei Darussalam)
Puisi-puisinya bisa ditemukan dalam sejumlah buku kumpulan bersama, antara lain, antologi puisi “Mimbar Penyair Abad 21” (1996), “Forum Pesta Penyair Jawa Tengah 1993” (1993), “Dari Negeri Poci II” (1994), “Dari Negeri Poci III”, “Antologi Puisi Indonesia” (1998), “Kicau Kepodang IV” (1997), “Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka” (1995), “Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia” (ed Korrie Layun Rampan, 2001) , “Surat Putih 2” (2002), “Kiara I” (2000), “Kiara II” (2003), “Aceh dalam Puisi” (2003), ”Bisikan Kata, Teriakan Kota” (2003), “Mahaduka Aceh” (2005), dan lain-lain.
Cerpennya bisa ditemukan dalam sejumlah antologi cerpen, seperti kumpulan cerpen “Kembang Manyang” (2000), “Dunia Perempuan” (ed. Korrie Layun Rampan, 2002), “Yang Dibalut Lumut” (CWI, 2003), “Kota yang Bernama dan Tak Bernama” (2003), “Bunga-Bunga Cinta” (Senayan Abadi, 2004), “Jika Cinta….” (Senayan Abadi, 2004).
Novelnya “Sintren”, dimuat bersambung harian Republika (akhir September 2004-awal Februari 2005), kemudian diterbitkan oleh Grasindo pada 2007. Novel itu masuk lima besar Khatulistiwa Literary Award 2007.
Novelnya yang lain “Perempuan Mencari Tuhan” juga dimuat bersambung di Republika, kini telah terbit menjadi buku (“Perempuan Mencari Tuhan”, Penerbit Republika 2007). Kumpulan cerpen tunggalnya “Kematian yang Indah” (Grasindo, 2005). Novel terbarunya “Nawang” (Pustaka Republika, 2009) dan “Weton” (Grasindo, Oktober 2009). Kini ia sedang menunggu terbit kumpulan esainya tentang perempuan berjudul “Satu Istri Saja Cukup”.
Tahun 1996 diundang dan mengikuti “Mimbar Penyair Abad 21” di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Desember 2003 diundang Dewan Kesenian Jakarta untuk baca puisi dalam forum “Temu Sastra Jakarta”. Kini tinggal di Perumahan Vila Pamulang, Blok Dj-7/8, Pondok Petir, Sawangan, Depok 16517, Email: dianing@gmail.com dan dianingwidya@yahoo.com. Facebook: http://www.facebook.com/dianingwy

DALAM HENING

Karya : Dianing Widya Yudhistira

Suara siapa mengalun merdu
Di antara deru klakson serta peluh keringat
Menyusup melewati lorong-lorong kecil
Bikin rahang batinku merindu

Dan ketukan siapa
Di malam nan senyap
Saat gelisahku belum beranjak
Kau kah yang datang seperti janji

Batang, 1996

Keterangan : diambil dari Antologi Puisi "Kepodang 4" terbitan Taman Budaya Surakarta (1996)
Biodata Penyair :
Dianing Widya Yudistira
DIANING WIDYA YUDHISTIRA, lahir di Batang 6 April 1974. Menulis puisi, cerpen dan resensi buku, mulai tahun 1992. Dipublikasikan ke berbagai media antara lain Republika, Media Indonesia, Koran Tempo, The Jakarta Post, Nova, Horison (Jakarta), Wawasan, Cempaka, Suara Merdeka (Semarang), Memorandum, Jawa Pos (Surabaya), Pikiran Rakyat (Bandung), Waspada (Medan), Serambi Indonesia (Banda Aceh), Suara Nusa (Nusa Tenggara Barat), Bali Pos (Denpasar), Majalah GEN dan Tunas Cipta (Malaysia) dan Bahana (Brunei Darussalam)
Puisi-puisinya bisa ditemukan dalam sejumlah buku kumpulan bersama, antara lain, antologi puisi “Mimbar Penyair Abad 21” (1996), “Forum Pesta Penyair Jawa Tengah 1993” (1993), “Dari Negeri Poci II” (1994), “Dari Negeri Poci III”, “Antologi Puisi Indonesia” (1998), “Kicau Kepodang IV” (1997), “Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka” (1995), “Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia” (ed Korrie Layun Rampan, 2001) , “Surat Putih 2” (2002), “Kiara I” (2000), “Kiara II” (2003), “Aceh dalam Puisi” (2003), ”Bisikan Kata, Teriakan Kota” (2003), “Mahaduka Aceh” (2005), dan lain-lain.
Cerpennya bisa ditemukan dalam sejumlah antologi cerpen, seperti kumpulan cerpen “Kembang Manyang” (2000), “Dunia Perempuan” (ed. Korrie Layun Rampan, 2002), “Yang Dibalut Lumut” (CWI, 2003), “Kota yang Bernama dan Tak Bernama” (2003), “Bunga-Bunga Cinta” (Senayan Abadi, 2004), “Jika Cinta….” (Senayan Abadi, 2004).
Novelnya “Sintren”, dimuat bersambung harian Republika (akhir September 2004-awal Februari 2005), kemudian diterbitkan oleh Grasindo pada 2007. Novel itu masuk lima besar Khatulistiwa Literary Award 2007.
Novelnya yang lain “Perempuan Mencari Tuhan” juga dimuat bersambung di Republika, kini telah terbit menjadi buku (“Perempuan Mencari Tuhan”, Penerbit Republika 2007). Kumpulan cerpen tunggalnya “Kematian yang Indah” (Grasindo, 2005). Novel terbarunya “Nawang” (Pustaka Republika, 2009) dan “Weton” (Grasindo, Oktober 2009). Kini ia sedang menunggu terbit kumpulan esainya tentang perempuan berjudul “Satu Istri Saja Cukup”.
Tahun 1996 diundang dan mengikuti “Mimbar Penyair Abad 21” di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Desember 2003 diundang Dewan Kesenian Jakarta untuk baca puisi dalam forum “Temu Sastra Jakarta”. Kini tinggal di Perumahan Vila Pamulang, Blok Dj-7/8, Pondok Petir, Sawangan, Depok 16517, Email: dianing@gmail.com dan dianingwidya@yahoo.com. Facebook: http://www.facebook.com/dianingwy

Selasa, 06 September 2011

KASIDAH HAJI

Karya : Jumari HS

Aku berlayar di Laut Merah
Mengikuti bayangan Muhammad
Aku dayung jiwaku dengan syahadat
Menempuh pantai-Mu yang penuh rahmat

Aku tak peduli udara menyengat
Yang dikirim hamparan gurun pasir
Juga hujan tak pernah hadir
Tapi aku terus berlayar menyinggahi
Bermacam kedamaian bersama matahari
Dan rembulan
Air zamzam meluluhkan aku
Dalam tafakur panjang

Langit pun senantiasa terang
Burung-burung bertakbir
Beribu malaikat menembangkan sholawat
Ibrahim dan Ismail tersenyum di lantai surga
Dan aku Cuma bisa mengeja alif ba ta-Mu
Dari samar-samar hatiku.

Kudus, 1996. KPK.

Puisi Kasidah Haji di ambil dari Antologi "Menara 2" Cetakan Tahun 1997 Halaman 35.

Sekilas Biodata Penyair:
Jumari HS
JUMARI HS : Tiada hari tanpa menulis puisi, itu motto hidupnya saat ini. Boleh jadi karena itulah, dibanding penyair lain seangkatannya di Kudus, nama Jumari HS relatif cepat melejit. Puisi-puisinya dimuat di Suara Karya, Aneka, Kartika, Suara Merdeka, Wawasan, Suara Pembaruan, Suara Muhammadiyah, Krida dan lain-lain. Puisinya juga masuk dalam antologi Forum Penyair Jawa Tengah (1993), Serayu (1995), Kicau Kepodang 3 (1995), Menara (1993), Angin Ladang (1996), Menara 2 (1997), Sajak Kudus (1997), Masih Ada Menara (2004) dan masih banyak lagi. Karyawan sebuah pabrik rokok yang lahir di Kudus, 24 November 1965 ini, sekarang tinggal bersama seorang isteri dan 3 orang anak di Loram Kulon RT 01 RW 01 No. 34 Kudus.

Selasa, 02 Agustus 2011

Musikalisasi Puisi “Refleksi Kerusakan Lingkungan”

Jumari HS
KUDUS-Suara musik yang mengiringi pembacaan puisi terdengar memenuhi selasar Padepokan Olah-Olah Kampoeng Seni, Desa Dersalam Kecamatan Bae, Rabu malam (27 Juli 2011). Sejumlah penyair seperti Yudhi MS, Mukti Sutarman SP, Jumari HS, Rohadi Noor, dan Saiful Amri secara bergantian membacakan syair-syair puisi. Para penyair ini membacakan dua sampai tiga puisi.
Malam yang hening, membuat pembacaan puisi ini lebih terasa khidmat. Satu persatu karya puisi dibacakan. Selain sejumlah karya puisi penyair terkenal, karya-karya pribadi juga dibacakan. Rangkaian tepuk tangan mengiringi setelah pembacaan puisi selesai.
Tema puisi yang dibacakan malam itu juga tidak monoton tentang masalah percintaan. Namun, masalah social, politik dan lingkungan memang menjadi mengalir satu persatu.
Seperti Jumari HS, salah seorang penyair di Kudus ini membacakan puisi berjudul “Gelisah Gunung Muria”. Dia menyatakan ini sebagai refleksi akibat kerusakan yang terjadi selama ini. Namun, hingga kini belum ada upaya yang nyata dari masyarakat dan pemerintah khususnya.
“Kami melihat tidak ada komitmen pemerintah untuk menjaga kelestarian lingkungan. Mereka lebih mementingkan keuntungan secara materi disbanding memikirkan masa depan lingkungan,” kata Jumari usai pementasan malam itu.
Menurut Jumari kondisi Lereng Muria sekarang sangat memprihatinkan. Potensi sumber air dari kawasan itu lambat laun terus menrun. Padahal selama ini, mata air dari gunung itu menjadi penghidupan masyarakat sekitar.
“Tidak hanya komitmen pemerintah. Namun, kesadaran lingkungan harus dimiliki mulai dari sekarang. Sehingga generasi mendatang masih bias menikmatinya,” imbuhnya.
Tampilan yang berbeda dipersembahkan Q-Sanak. Sebuah grup music yang malam itu mencairkan suasana. Q-Sanak sendiri, pada malam itu mempersembahkan beberapa judul lagu yang berasal dari gubahan puisi. Salah satunya yang berjudul “Belenggu”. Petikan gitar dengan iringan tetabuhan gendang membuat suasana semakin hidup. “kami ingin menampilkan sesuatu yang berbeda mala mini,” ujar Andri salah satu personel Q-Sanak. 
Acara musikalisasi puisi ini terselenggara atas kerja sama Forum Apresiasi Sastra dan Budaya Kudus (Fasbuk), dengan menggandeng Padepokan Olah-Olah Kampoeng Seni. Tujuannya untuk menghidupkan karya sastra di Kota Kretek. (Contributed by : fud/oko/radar kudus 2011)

Jumat, 10 Juni 2011

Pembacaan dan Bedah Puisi Karya Yudhi MS

Mukti Sutarman Espe
Kudus,- Yudhi MS yang dikenal sebagai salah satu penyair handal di Kabupaten Kudus, belum habis. Setidaknya itu terlihat dalam bedah puisi karya Yudhi MS di Olah-Olah Kampung Seni di Desa Dersalam Kecamatan Bae Kabupaten Kudus, Sabtu malam (4 Juni 2011).
Dalam acara ini, sejumlah karya Yudhi MS dibacakan. Di antaranya dari Forum Apresiasi Sastra dan Budaya Kudus (Fasbuk) para pelaku seni dari Semarang dan Kudus. Beberapa puisi yang dibacakan oleh Kanthi (Dimanakah Engkau), Nung Gondrong (Tafakur), Adit (Kita Lumpur), dan Yudhi MS sendiri membacakan puisi berjudul Tuhan dan Sisakan Cinta untuk Aceh.
Usai pembacaan puisi karya Yudhi MS, dilanjutkan dengan bedah karya yang dilakukan Mukti Sutarman Espe, yang juga rekan sesama sastrawan Kudus. Menurut Mukti, puisi karya Yudhi MS banyak yang bertema sosial. Seperti karyanya yang berjudul Puisi-puisi Pamflet, Potret Pembangunan, Si Burung Merak. “Ciri khas puisi milik Yudhi MS beralih ke dalam gaya ucap baru yang cenderung lugas, telanjang, bahkan binal,” terangnya.
Persoalan itu, jelas Mukti, Yudhi tidak sendiri. Banyak penyair yang puisi-puisinya sewarna itu mengalami hal serupa. Pada tataran penyair sekaliber WS Rendra misalnya, juga “menurun” kapasitas dan kualitas kepenyairannya seputar masalah sosial. Sementara Slamet Mulyono yang lebih akrab dipanggil Mamik, menyebutkan acara yang dihelat di Padepokan Olah-Olah Kampung Seni ini sebagai wujud apresiasi dan ruang terbuka bagi seniman kepada masyarakat. “Ini sebagai ruang kreatif dan komunikasi antar seniman,” jelasnya. (san/oko-Radar Kudus)

Sabtu, 04 Juni 2011

Senyum Kasmirah (Cerpen: Sugito Hadisastro)

Senyum Kasmirah
Malam mendekati tabir pagi. Sesekali suara batuk Mak Birah terdengar sayup. Kremo sudah bangun dan menyiapkan bubu untuk menangkap ikan di sungai kecil belakang rumahnya. Pagi esuknya, anak tunggal Mak Birah itu akan menjual ikan hasil tangkapannya di pasar desa. Pulangnya, tak lupa dia membeli beras, lauk, dan sayur. Mak Birah memasaknya untuk makan siang mereka berdua. Begitu sehari-harinya. Tak ada keluhan tak ada penolakan. Kehidupan berjalan seiring perjalanan waktu di kampung tempat mereka dilahirkan, Gupak.
****
Alkisah, kampung Gupak adalah rumah bagi para orang tua dan anak-anak. Para pemuda dan pemudi begitu lulus sekolah dasar atau paling tinggi sekolah menengah pertama langsung pergi meninggalkan desa. Ada yang merantau di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Semarang. Bahkan ada yang berani bertaruh nyawa di Arab Saudi, Taiwan, atau Korea. Anehnya, setelah sukses di perantauan mereka tidak kembali ke desanya, melainkan melanjutkan hidup di tanah rantau atau setidak-tidaknya hidup di kota terdekat, bukan di kampung asal. Hanya Mak Birah yang tidak mengijinkan anaknya, Kremo, ikut-ikutan merantau. Kremo harus menunggui ibunya yang sudah tua di kampungnya. Kremo tidak lulus sekolah dasar. Tidak mempunyai keterampilan untuk bekerja, kecuali menangkap ikan dengan bubu.
Akhir-akhir ini hati Kremo sedang berbunga-bunga. Bukan karena hasil tangkapan ikan meningkat. Melainkan karena hatinya terpikat pada Kasmirah, gadis tetangganya yang baru pulang dari Jakarta. Kremo tidak menyangka jika gadis kecil anak Lik Merdut itu sekarang sudah menjadi gadis yang cantik.
Seperti anak gadis lainnya, setelah lulus sekolah dasar, Kasmirah pergi ke kota untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Setahun sekali, biasanya setiap menjelang lebaran, pulang. Ini belum menjelang lebaran, tapi Kasmirah pulang. Banyak warga, termasuk Kremo, penasaran dalam hati, namun urusan pulang menjadi hak si perantau. Kasmirah pun, mau pulang kapan saja tidak ada yang melarang. Bahkan kepulangannya kali ini membuat hati Kremo senang. Kremo membatin, alangkah lebih senangnya jika Kasmirah mau berlama-lama tinggal di kampungnya.
Ya, kata anak muda sekarang Kremo sedang jatuh cinta. Tapi, pemuda itu tidak tahu bagaimana caranya mendekati gadis pujaan. Kasmirah jarang keluar rumah, kecuali untuk mencuci beras di sungai. Kremo bukan sejenis pemuda yang pintar merayu atau menggoda perempuan. Bahkan untuk melihat gadis pujaannya mencuci beras di sungai pun, Kremo hanya melihat selintas dengan sudut matanya. Atau, dia menyembunyikan badannya di balik pohon besar yang tumbuh di sana.
Suatu hari, Kasmirah baru naik dari sungai sehabis mencuci umbi jalar. Kremo turun tebing sungai untuk mengambil bubu yang dipasangnya semalam. Keduanya bertemu di tikungan jalan. Kasmirah sedikit terengah-engah nafasnya karena tebing sungai cukup tinggi. Kremo menahan nafas karena tidak mengira akan bertemu gadis pujaan sepagi itu.
“Kang Kremo mau apa?” Kasmirah bertanya terlebih dulu.
“Oh ... lha ini ... mau mengambil bubu,” jawab Kremo terbata-bata.
“Oh, gitu. Dapat ikan apa saja, Kang?”
“Ya, macam-macam. Ada lele, gabus, bethik, sepat. Kadang-kadang juga wader.”
“Tolong kalau dapat gabus dijual ke aku ya, Kang?”
“Oh, ya ... ya.”
Kasmirah meneruskan langkahnya. Kremo menahan nafas. Mimpi apa semalam aku ya. Pagi-pagi begini sudah ketemu Mirah. Semoga banyak ikan gabus di bubuku, Kremo membatin.
Sayang, hanya ada dua ekor gabus di bubu Kremo. Selebihnya ikan-ikan kecil sejenis wader dan sepat. Tak apalah dua ekor ikan wader sudah cukup baginya untuk diberikan kepada Kasmirah, bukan dijual.
Mak Birah heran melihat anaknya mandi sepulang mengambil bubu di sungai. Padahal biasanya sepulang dari sungai dia akan duduk-duduk di dapur sambil mengeringkan kayu-kayu yang semalam terbasahkan embun. Lalu, mengambil sabit mencari rumput untuk beberapa kambingnya. Pulang dari mencari rumput, makan siang, dan sehabis makan siang mencari kayu bakar di hutan tidak jauh dari desanya. Begitu kegiatan sehari-harinya.
“Mo, kamu mau kemana kok mandi pagi?” tanya Mak Birah.
“Hanya ingin saja, Mak.”
“Oh, syukurlah kalau begitu.”
“Mak, tolong ikan gabusnya jangan dijual ke pasar, ya?”
Lho, kenapa?” tanya emaknya heran.
Mulanya Kremo akan merahasiakan maksud hatinya, tapi akhirnya dibukanya juga. Katanya, “Tadi di sungai aku ketemu Mirah. Dia minta ikan gabus.”
“Mirah anaknya Merdut?”
“Ya siapa lagi, di kampung kita hanya ada satu Mirah, anaknya Lik Merdut itu.”
“Maksudku, jadi kamu mandi itu karena akan mengantarkan ikan ke rumahnya Merdut?”
“Ya, supaya badanku tidak bau ikan, Mak.”
Mak Birah langsung merasa bahwa jangan-jangan anaknya menyukai anak tetangganya itu. Andaikan iya, bagaimana? Seingatnya Mirah gadis baik-baik, tapi selama sekian tahun berada di rantau apakah masih menyisakan kebaikan di dalam jiwanya. Wanita tua itu merasakan sesuatu yang lain pada diri gadis itu.
Kremo masih tetap mengenakan pakaian “dinasnya,” hanya badannya tidak lagi berbau ikan. Kasmirah sangat senang menerima ikan-ikan gabus dari pemuda tetangganya itu. Baru kali inilah Kremo dapat memandang Kasmirah dari jarak dekat. Ternyata gadis itu lebih dari yang dilihatnya dari kejauhan. Kulitnya coklat muda, khas gadis pedesaan. Rambutnya hitam tebal, panjang lagi. Wajahnya bundar seperti bayi yang tidak berdosa dengan kedua pipi yang penuh. Matanya bulat menandakan gadis itu mempunyai pandangan yang jauh. Bibirnya pun tidak terlalu tebal. Mana ada gadis di kampungnya lebih menarik dari Mirah, begitu Kremo membatin.
Sejak pertemuan itu Kremo hampir tidak pernah melewatkan bayangan Mirah dalam pikirannya. Pagi, siang, sore, dan malam hanya gadis itu yang berkelebat di matanya. Saat memasang bubu, mengambil bubu, mencari rumput, bahkan saat bersujud kepada Tuhan di surau pun pikiran Kremo selalu membayangkan rupa Kasmirah. Singkat cerita, Kremo mengatakan kepada emaknya untuk melamar Kasmirah. Di pedesaan, seseorang tidak perlu mempunyai pekerjaan tetap atau usaha tertentu untuk menikah. Asal sudah mempunyai keterampilan seadanya bolehlah seorang memperisteri seorang perempuan. Begitulah yang terjadi pada anak Mak Birah saat ini. Kremo benar-benar ingin memperisteri Kasmirah.
Lik Merdut terkejut ketika dua orang utusan janda yang rumahnya berdekatan dengan rumahnya itu bertamu dan mengatakan hendak melamar Kasmirah untuk Kremo. Lik Merdut dan isterinya memanggil Kasmirah untuk menanyai apakah dia bersedia dilamar anak Mak Birah.
Kasmirah tidak perlu mengatakan iya, melainkan cukup mengangguk saja. Kedua utusan Mak Birah kembali dengan membawa berita suka. Mak Birah dan Kremo pun berbahagia. Kegembiraan Kremo tidak dapat digambarkan. Pikirannya mulai terbang melayang-layang di alam khayali. Akhirnya dia akan mendapatkan calon isteri yang diimpikannya. Dia akan menjadi suami Mirah dan ayah bagi anak-anak yang akan dilahirkan isterinya.
Meskipun Mirah kecil menjadi teman bermainnya, namun sekian tahun kemudian gadis itu merantau ke kota besar mengikuti tradisi masyarakat kampungnya dan kembali telah menjadi gadis dewasa yang menarik hatinya. Soal apa dan bagaimana pekerjaan Mirah di rantau, Kremo tidak akan bertanya dan tidak ingin bertanya. Dia hanya menginginkan Mirah menjadi isterinya dan dia akan bekerja semakin keras untuk menafkahi keluarganya.
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Mak Birah dan Lik Merdut akan menggelar hajatan pernikahan anak-anak mereka. Sanak saudara kedua orang bertetangga itu sudah berkumpul. Ibu-ibu muda sudah menyiapkan segala sesuatunya untuk keperluan perhelatan. Para lelaki dan remaja memetik janur untuk hiasan pelaminan. Anak-anak berlari-lari penuh rasa gembira menyambut keramaian di kampugnnya. Simbok-simbok tua menggelar meja kecil di depan rumah untuk berjualan gulali, mie sambal, dan rujak urap kacang panjang. Meskipun tidak ada gelaran wayang kulit semalam suntuk atau pentas ronggeng atau tayuban, tetap saja suasana kampung sangat meriah. Tidak ketinggalan ayam dan kambing sudah disiapkan di samping rumah untuk dipotong besuknya.
Kremo dan Kasmirah akan menjadi raja dan ratu sehari. Perias dengan tarif murah akan dipanggil untuk menyulap wajah Kremo yang berpanu menjadi segagah Gatotkaca. Hidung Kasmirah yang pesek akan dirias menjadi mancung laksana hidungnya noni-noni Belanda. Pokoknya Kremo dan Kasmirah akan menjadi buah bibir warga kampungnya.
Malam penuh bintang. Kremo tidak tahan untuk segera melihat mentari pagi menerangi cakrawala. Dan dirinya bersama Kasmirah duduk di hadapan seorang penghulu yang akan membacakan akad nikah mereka. Di luar, puluhan atau bahkan ratusan pasang mata akan menjadi saksi awal hari-hari bahagianya.
Kasmirah keluar kamarnya secara diam-diam. Orang-orang yang berada di rumahnya sibuk dengan tugas masing-masing. Agak jauh dari rumahnya, di bawah pohon yang berdaun rimbun, Kasmirah mengeluarkan sebuah benda ajaib dari saku celananya. Sebuah telepon genggam ternyata.
Beberapa saat hening. Lalu, suaranya terdengar seolah mendesah, “Mas, besuk aku menikah.”
Sesaat kemudian terdengar suara seorang laki-laki, nadanya heran. “Baguslah kalau begitu. Akhirnya bayi kita akan mempunyai ayah. Selamat, ya?”
“Ya, mas. Jaga dirimu baik-baik, ya. Rencana kita masih panjang.”
“Oke. Daaag.”
Lalu hening lagi. Hanya suara cengkerik yang terdengar lantang. (*) 


Lembah Kemulan, 160608 
Dimuat Tabloid CEMPAKA, edisi No. 23 Th. XIX, Tanggal 6-12 September 2008 

Sugito Hadisastro
Sekilas Biodata Penulis: Sugito Hadisastro, adalah penulis cerpen kelahiran Kabupaten Batang. Cerpen-cerpennya banyak dimuat di media massa lokal maupun nasional. Bahkan ada yang sudah di antologikan, salah satunya adalah "Belukar". Sekarang beliau lebih terfokus pada penulisan novel sejarah atau epik. Yang terbaru adalah diterbitkannya buku novel "Kabut di Alas Roban" (2011). Sebuah novel yang bersetingkan sejarah rakyat Kabupaten Batang. Bahkan buku ini sudah dinobatkan sebagai buku cerita rakyat Kabupaten Batang. Sekarang Bapak Sugito Hadisastro (Sugito HS) masih aktif berdinas di SMK Negeri 1 Batang (Kepala Sekolah) dan sekarang beliau berada di Darwin (Australia) dalam rangka tugas dinas.