|
Senyum Kasmirah |
Malam mendekati tabir pagi. Sesekali suara batuk Mak Birah terdengar sayup. Kremo sudah bangun dan menyiapkan bubu untuk menangkap ikan di sungai kecil belakang rumahnya. Pagi esuknya, anak tunggal Mak Birah itu akan menjual ikan hasil tangkapannya di pasar desa. Pulangnya, tak lupa dia membeli beras, lauk, dan sayur. Mak Birah memasaknya untuk makan siang mereka berdua. Begitu sehari-harinya. Tak ada keluhan tak ada penolakan. Kehidupan berjalan seiring perjalanan waktu di kampung tempat mereka dilahirkan, Gupak.****
Alkisah, kampung Gupak adalah rumah bagi para orang tua dan anak-anak. Para pemuda dan pemudi begitu lulus sekolah dasar atau paling tinggi sekolah menengah pertama langsung pergi meninggalkan desa. Ada yang merantau di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Semarang. Bahkan ada yang berani bertaruh nyawa di Arab Saudi, Taiwan, atau Korea. Anehnya, setelah sukses di perantauan mereka tidak kembali ke desanya, melainkan melanjutkan hidup di tanah rantau atau setidak-tidaknya hidup di kota terdekat, bukan di kampung asal. Hanya Mak Birah yang tidak mengijinkan anaknya, Kremo, ikut-ikutan merantau. Kremo harus menunggui ibunya yang sudah tua di kampungnya. Kremo tidak lulus sekolah dasar. Tidak mempunyai keterampilan untuk bekerja, kecuali menangkap ikan dengan bubu.
Akhir-akhir ini hati Kremo sedang berbunga-bunga. Bukan karena hasil tangkapan ikan meningkat. Melainkan karena hatinya terpikat pada Kasmirah, gadis tetangganya yang baru pulang dari Jakarta. Kremo tidak menyangka jika gadis kecil anak Lik Merdut itu sekarang sudah menjadi gadis yang cantik.
Seperti anak gadis lainnya, setelah lulus sekolah dasar, Kasmirah pergi ke kota untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Setahun sekali, biasanya setiap menjelang lebaran, pulang. Ini belum menjelang lebaran, tapi Kasmirah pulang. Banyak warga, termasuk Kremo, penasaran dalam hati, namun urusan pulang menjadi hak si perantau. Kasmirah pun, mau pulang kapan saja tidak ada yang melarang. Bahkan kepulangannya kali ini membuat hati Kremo senang. Kremo membatin, alangkah lebih senangnya jika Kasmirah mau berlama-lama tinggal di kampungnya.
Ya, kata anak muda sekarang Kremo sedang jatuh cinta. Tapi, pemuda itu tidak tahu bagaimana caranya mendekati gadis pujaan. Kasmirah jarang keluar rumah, kecuali untuk mencuci beras di sungai. Kremo bukan sejenis pemuda yang pintar merayu atau menggoda perempuan. Bahkan untuk melihat gadis pujaannya mencuci beras di sungai pun, Kremo hanya melihat selintas dengan sudut matanya. Atau, dia menyembunyikan badannya di balik pohon besar yang tumbuh di sana.
Suatu hari, Kasmirah baru naik dari sungai sehabis mencuci umbi jalar. Kremo turun tebing sungai untuk mengambil bubu yang dipasangnya semalam. Keduanya bertemu di tikungan jalan. Kasmirah sedikit terengah-engah nafasnya karena tebing sungai cukup tinggi. Kremo menahan nafas karena tidak mengira akan bertemu gadis pujaan sepagi itu.
“Kang Kremo mau apa?” Kasmirah bertanya terlebih dulu.
“Oh ... lha ini ... mau mengambil bubu,” jawab Kremo terbata-bata.
“Oh, gitu. Dapat ikan apa saja, Kang?”
“Ya, macam-macam. Ada lele, gabus, bethik, sepat. Kadang-kadang juga wader.”
“Tolong kalau dapat gabus dijual ke aku ya, Kang?”
“Oh, ya ... ya.”
Kasmirah meneruskan langkahnya. Kremo menahan nafas. Mimpi apa semalam aku ya. Pagi-pagi begini sudah ketemu Mirah. Semoga banyak ikan gabus di bubuku, Kremo membatin.
Sayang, hanya ada dua ekor gabus di bubu Kremo. Selebihnya ikan-ikan kecil sejenis wader dan sepat. Tak apalah dua ekor ikan wader sudah cukup baginya untuk diberikan kepada Kasmirah, bukan dijual.
Mak Birah heran melihat anaknya mandi sepulang mengambil bubu di sungai. Padahal biasanya sepulang dari sungai dia akan duduk-duduk di dapur sambil mengeringkan kayu-kayu yang semalam terbasahkan embun. Lalu, mengambil sabit mencari rumput untuk beberapa kambingnya. Pulang dari mencari rumput, makan siang, dan sehabis makan siang mencari kayu bakar di hutan tidak jauh dari desanya. Begitu kegiatan sehari-harinya.
“Mo, kamu mau kemana kok mandi pagi?” tanya Mak Birah.
“Hanya ingin saja, Mak.”
“Oh, syukurlah kalau begitu.”
“Mak, tolong ikan gabusnya jangan dijual ke pasar, ya?”
“Lho, kenapa?” tanya emaknya heran.
Mulanya Kremo akan merahasiakan maksud hatinya, tapi akhirnya dibukanya juga. Katanya, “Tadi di sungai aku ketemu Mirah. Dia minta ikan gabus.”
“Mirah anaknya Merdut?”
“Ya siapa lagi, di kampung kita hanya ada satu Mirah, anaknya Lik Merdut itu.”
“Maksudku, jadi kamu mandi itu karena akan mengantarkan ikan ke rumahnya Merdut?”
“Ya, supaya badanku tidak bau ikan, Mak.”
Mak Birah langsung merasa bahwa jangan-jangan anaknya menyukai anak tetangganya itu. Andaikan iya, bagaimana? Seingatnya Mirah gadis baik-baik, tapi selama sekian tahun berada di rantau apakah masih menyisakan kebaikan di dalam jiwanya. Wanita tua itu merasakan sesuatu yang lain pada diri gadis itu.
Kremo masih tetap mengenakan pakaian “dinasnya,” hanya badannya tidak lagi berbau ikan. Kasmirah sangat senang menerima ikan-ikan gabus dari pemuda tetangganya itu. Baru kali inilah Kremo dapat memandang Kasmirah dari jarak dekat. Ternyata gadis itu lebih dari yang dilihatnya dari kejauhan. Kulitnya coklat muda, khas gadis pedesaan. Rambutnya hitam tebal, panjang lagi. Wajahnya bundar seperti bayi yang tidak berdosa dengan kedua pipi yang penuh. Matanya bulat menandakan gadis itu mempunyai pandangan yang jauh. Bibirnya pun tidak terlalu tebal. Mana ada gadis di kampungnya lebih menarik dari Mirah, begitu Kremo membatin.
Sejak pertemuan itu Kremo hampir tidak pernah melewatkan bayangan Mirah dalam pikirannya. Pagi, siang, sore, dan malam hanya gadis itu yang berkelebat di matanya. Saat memasang bubu, mengambil bubu, mencari rumput, bahkan saat bersujud kepada Tuhan di surau pun pikiran Kremo selalu membayangkan rupa Kasmirah. Singkat cerita, Kremo mengatakan kepada emaknya untuk melamar Kasmirah. Di pedesaan, seseorang tidak perlu mempunyai pekerjaan tetap atau usaha tertentu untuk menikah. Asal sudah mempunyai keterampilan seadanya bolehlah seorang memperisteri seorang perempuan. Begitulah yang terjadi pada anak Mak Birah saat ini. Kremo benar-benar ingin memperisteri Kasmirah.
Lik Merdut terkejut ketika dua orang utusan janda yang rumahnya berdekatan dengan rumahnya itu bertamu dan mengatakan hendak melamar Kasmirah untuk Kremo. Lik Merdut dan isterinya memanggil Kasmirah untuk menanyai apakah dia bersedia dilamar anak Mak Birah.
Kasmirah tidak perlu mengatakan iya, melainkan cukup mengangguk saja. Kedua utusan Mak Birah kembali dengan membawa berita suka. Mak Birah dan Kremo pun berbahagia. Kegembiraan Kremo tidak dapat digambarkan. Pikirannya mulai terbang melayang-layang di alam khayali. Akhirnya dia akan mendapatkan calon isteri yang diimpikannya. Dia akan menjadi suami Mirah dan ayah bagi anak-anak yang akan dilahirkan isterinya.
Meskipun Mirah kecil menjadi teman bermainnya, namun sekian tahun kemudian gadis itu merantau ke kota besar mengikuti tradisi masyarakat kampungnya dan kembali telah menjadi gadis dewasa yang menarik hatinya. Soal apa dan bagaimana pekerjaan Mirah di rantau, Kremo tidak akan bertanya dan tidak ingin bertanya. Dia hanya menginginkan Mirah menjadi isterinya dan dia akan bekerja semakin keras untuk menafkahi keluarganya.
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Mak Birah dan Lik Merdut akan menggelar hajatan pernikahan anak-anak mereka. Sanak saudara kedua orang bertetangga itu sudah berkumpul. Ibu-ibu muda sudah menyiapkan segala sesuatunya untuk keperluan perhelatan. Para lelaki dan remaja memetik janur untuk hiasan pelaminan. Anak-anak berlari-lari penuh rasa gembira menyambut keramaian di kampugnnya. Simbok-simbok tua menggelar meja kecil di depan rumah untuk berjualan gulali, mie sambal, dan rujak urap kacang panjang. Meskipun tidak ada gelaran wayang kulit semalam suntuk atau pentas ronggeng atau tayuban, tetap saja suasana kampung sangat meriah. Tidak ketinggalan ayam dan kambing sudah disiapkan di samping rumah untuk dipotong besuknya.
Kremo dan Kasmirah akan menjadi raja dan ratu sehari. Perias dengan tarif murah akan dipanggil untuk menyulap wajah Kremo yang berpanu menjadi segagah Gatotkaca. Hidung Kasmirah yang pesek akan dirias menjadi mancung laksana hidungnya noni-noni Belanda. Pokoknya Kremo dan Kasmirah akan menjadi buah bibir warga kampungnya.
Malam penuh bintang. Kremo tidak tahan untuk segera melihat mentari pagi menerangi cakrawala. Dan dirinya bersama Kasmirah duduk di hadapan seorang penghulu yang akan membacakan akad nikah mereka. Di luar, puluhan atau bahkan ratusan pasang mata akan menjadi saksi awal hari-hari bahagianya.
Kasmirah keluar kamarnya secara diam-diam. Orang-orang yang berada di rumahnya sibuk dengan tugas masing-masing. Agak jauh dari rumahnya, di bawah pohon yang berdaun rimbun, Kasmirah mengeluarkan sebuah benda ajaib dari saku celananya. Sebuah telepon genggam ternyata.
Beberapa saat hening. Lalu, suaranya terdengar seolah mendesah, “Mas, besuk aku menikah.”
Sesaat kemudian terdengar suara seorang laki-laki, nadanya heran. “Baguslah kalau begitu. Akhirnya bayi kita akan mempunyai ayah. Selamat, ya?”
“Ya, mas. Jaga dirimu baik-baik, ya. Rencana kita masih panjang.”
“Oke. Daaag.”
Lalu hening lagi. Hanya suara cengkerik yang terdengar lantang. (*)
Lembah Kemulan, 160608
Dimuat Tabloid CEMPAKA, edisi No. 23 Th. XIX, Tanggal 6-12 September 2008
|
Sugito Hadisastro |
Sekilas Biodata Penulis: Sugito Hadisastro, adalah penulis cerpen kelahiran Kabupaten Batang. Cerpen-cerpennya banyak dimuat di media massa lokal maupun nasional. Bahkan ada yang sudah di antologikan, salah satunya adalah "Belukar". Sekarang beliau lebih terfokus pada penulisan novel sejarah atau epik. Yang terbaru adalah diterbitkannya buku novel "Kabut di Alas Roban" (2011). Sebuah novel yang bersetingkan sejarah rakyat Kabupaten Batang. Bahkan buku ini sudah dinobatkan sebagai buku cerita rakyat Kabupaten Batang. Sekarang Bapak Sugito Hadisastro (Sugito HS) masih aktif berdinas di SMK Negeri 1 Batang (Kepala Sekolah) dan sekarang beliau berada di Darwin (Australia) dalam rangka tugas dinas.